Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri.
Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.
A. Perlindungan Sosial (social protection).
Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial dan jaminan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.
Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial. ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection).
B. Jaminan Sosial (Social Security).
Seperti halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam interpretasi jaminan sosial (social security). ILO (2002) menyebutkan bahwa jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan, kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia, ataupun kematian. Lebih jauh dijelaskan bahwa jaminan sosial terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds, dan skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi dan program komplimenter lainnya.
Michael von Hauff dalam “The Relevance of Social Security for Economic Development” mengutip kesepakatan dari the World Summit for Social Development di Kopenhagen tahun 1995, bahwa sistem jaminan sosial merupakan komponen esensial dari perluasan pembangunan sosial dan dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Lebih rinci, deklarasi summit tersebut antara lain mencanangkan “to develop and implement policies which ensure that all persons enjoy adequate economic and social protection in the event of unemployment, sickness, during motherhood and child-rearing, in the event of widowhood, disability and in old age.”
Pendekatan yang selama ini digunakan lebih mengarah pada pendekatan berdasarkan permintaan (demand-based). Bahkan dalam naskah akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pun masih tercermin pendekatan tersebut. Salah satu misi yang dicanangkan SJSN adalah “meningkatkan pelayanan sehingga seluruh penduduk merasa perlu menjadi peserta SJSN.” Semangat yang tercermin dalam misi ini adalah pendekatan demand-based. Di sini diharapkan suatu saat nanti keinginan untuk menjadi peserta dalam skema-skema SJSN akan timbul.
Hal ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan, sebab dalam pelaksanaannya, yang dapat terjadi adalah penyelenggaraan pelayanan dengan spirit yang tidak berbeda dengan apa yang ada saat ini. Kemungkinan yang akan terjadi adalah pelayanan pemerintah yang minimal karena penduduk yang memerlukan pelayanan pemerintah; bukan karena sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk menghargai dan menghormati hak penduduk, serta melayani dan memenuhi kebutuhan penduduk.
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pertemuan HRD Club lalu berlang-sung tanggal 18 Juni 1999 menghadirkan Ibu Dra. Sri Razziaty Ischaja , anggota Panitia Penyelesaian Perse-lisihan Perburuhan Pusat ( P4P) dan Sekretaris APINDO.Topik yang dibawakan beliau adalah Penyelesaian Perselisihan Perbu-ruhan. Berikut kami sarikan makalah yang beliau bawakan.
Krisis moneter yang hampir dua tahun terjadi merupakan penyebab merosotnya perekonomian di negara kita. Hal ini sangat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat. Sehingga tak bisa dielakkan lagi, guna menekan efisiensi dana yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, selain efisiensi di bidang sarana dan prasarana, langkah pemutusan hu-bungan kerja terpaksa dilakukan di beberapa perusahaan.
Akibat terjadinya pemutusan hu-bungan kerja ini dan sulitnya mencari pekerjaan, sangat berdampak pada perilaku sosial masyarakat negatif yang terjadi akhir-akhir ini.
Beberapa faktor yang menga-kibatkan perubahan perilaku sosial yang menjurus ke arah negatif ini antara lain yaitu:
- Tidak terpenuhinya hak-hak yang harus diberikan kepada karyawan yang terkena PHK.
- Kurangnya informasi dari pihak perusahaan mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil.
- Adanya pihak ketiga yang dengan sengaja menyusup mempenga-ruhinya .
- Masih adanya perusahaan yang menggaji karyawannya di bawah UMR dan hak-hak lain yang seharusnya mereka terima, yang terpaksa disetujui secara sepihak (dari pihak yang sangat membutuhkan pekerjaan).Dalam hal ini Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) tidak diperhatikan oleh kedua belah pihak.
- Tidak dibentuknya Lembaga Kerja-sama Bipartit sehingga keinginan kedua belah pihak tidak terea-lisasi.
- Tidak berfungsinya HRD dalam hal pembinaan hubungan indus-trial, terutama hubungan antara pihak pekerja dengan manajemen perusahaan
Kalau hal-hal di atas diperhatikan, maka pada saat krisis ini, para pekerjapun akan merespon dengan baik jalan keluar yang diambil, sehinggga pada saat terjadinya PHK akan terhindar dari kejadian buruk yang tidak diharapkan.
Dalam penyelesaian perselisihan industrial, dasar-dasar hukum yang harus diperhatikan antara lain:
- UU No.22 Tahun 1957 tentang : Penyelesaian Perselisihan Per-buruhan.
- UU No.12 Tahun 1964, tentang PHK di Perusahaan Swasta
- Kep Menaker No: 15 A/Men/ 1994, tentang Petunjuk Penyele-saian Perselisihan Hubungan Industrial dan PHK di tingkat perusahaan dan Pemerantaraan
- Per Menaker No. 03/Men/1996 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa, dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta.
Pemrosesan masalah Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan dengan tatacara sebagai berikut:
- Salah satu pihak mengajukan permintaan berunding ke pihak lainnya
- Apabila ada kesepakatan dalam perundingan, dibuat persetujuan bersama. Setiap perundingan dibuat Berita Acara Perundingan
- Apabila ditolak/tidak ada jawab-an beritahukan Ketua P4D(mela-lui Kan Depnaker setempat)
- Ketua P4D memberitahukan ke-pada pihak-pihak yang berselisih bahwa telah menerima pemberi-tahuan tersebut
- Perantara memimpin perun-dingan untuk menyelesaikan masalah perselisihan tersebut
- Apabila ada kesepakatan dalam perundingan tersebut dibuat persetujuan bersama
- Apabila tidak ada kesepakatan diteruskan ke P4P
Dalam kasus Pemrosesan Masalah Pemutusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tatacaranya adalah sebagai berikut:
- Pengajuan perkara sesuai prosedur
- Uraian Perkara Lengkap dan Sistimatis
- Adanya bukti bukti tertulis mengenai penyimpangan dan berita acara perundingannya.
- Tunjukkan ‘good will’ dari perusahaan.
- Sertakan saksi yang mendukung
Apapun keputusan hasil persi-dangan, perusahaan harus:
- Taat terhadap keputusan P4D dan P4P.
- Mengantisipasi dampak-dampak nya terhadap lingkungan kerja, pendekatan dan penjelasan ter-hadap karyawan harus dilaku-kan.
- Langkah selanjutnya, intros- peksi, pengembangan diri dan perbaiki sistem manajemen
Konferensi Perburuhan Internasional
Adalah sidang umum yang diselenggarakan setiap bulan Juni di Jenewa yang menjadi forum untuk membahas masalah-masalah buruh dan sosial. Tiap-tiap negara anggota ILO dapat mengirimkan empat orang delegasi untuk mengikuti Konferensi tersebut (ILOmemiliki 175 negara anggota). Empat delegasi dari tiap negara anggota ILO terdiri dari 2 orang wakil pemerintah, 1 orang wakil pekerja dan 1 orang wakil majikan, yang jika diperlukan juga didampingi oleh penasehat teknis. Setiap delegasi dapat bericara dan memberikan suara dalam pertemuan secara independen. Artinya, gabungan majikan dan pekerja memiliki suara yang setara dengan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan dan program ILO. Agenda Koverensi Perburuhan Internasional antara lain adalah memilih Badan Pekerja, mengesahkan program-program ILO, membuat keputusan mengenai anggaran ILO, yang dananya berasal dari semua negara anggota. Koverensi Perburuhan Internasional juga mengesahkan standar buruh internasional yang dituangkan dalam bentuk sejumlah Konvensi dan Rekomendasi, mengesahkan resolusi kebijakan umum dan kegiatan ILO, dan menentukan penerimaan negara anggota yang baru.
Badan Pekerja adalah badan pelaksana ILO. Badan tersebut bertemu tiga kali dalam setahun di Jenewa yaitu pada Maret, Juni (setelah pertemuan Konverensi Perburuhan Internasional) dan November. Seperti juga ILO dan Koverensi Perburuhan Internasional, Badan Pekerja memiliki struktur tripartit yang terdiri dari 56 anggota penuh (28 orang wakil pemerintah, 14 orang wakil majikan dan 14 orang wakil pekerja) dan 66 anggota deputi (28 orang wakil pemerintah, 19 orang wakil majikan dan19 orang wakil pekerja). Kantor Buruh Internasional di Jenewa adalah sekretariat tetap ILO. Kantor ini bertugas menyiapkan berbagai dokumen dan laporan yang digunakan dalam konferensi dan pertemuan-pertemuan ILO, seperti Laporan Umum Komite Ahli Pelaksanaan Standar, laporan kepada Badan Pekerja dan komite-komite lainnya, dll). Selain itu, kantor ini juga menjalankan program kerjasama teknis yang mendukung kerja-kerja berdasarkan standar ILO. Dalam kantor tersebut, terdapat departemen yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang menyangkut standar buruh internasional, juga terdapat departemen yang bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan buruh dan majikan.
Sumber : http://manted.wordpress.com/2010/04/25/konferensi-perburuhan-internasional/
http://hrdclub.8m.com/Tahutopiklalu/18061999.htm
http://joshuallen.wordpress.com/2010/07/01/jaminan-sosial-tenaga-kerja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar