Pada awalnya aku kesal sekali karena aku harus bangun lebih pagi untuk membantu ayah membuka toko. “kalau ibu yang buka toko kami sekeluarga bisa ngak sarapan, ya sudahlah”, kubergumam dalam hati. Seiring berjalannya waktu aku pun mulai menikmatinya, karena sepulang sekolah aku bisa makan jajanan diwarung sepuasnya. Yang membuatku aneh setiap angota keluarga mengambil barang di toko, kita harus membayanya. Contohnya saat ayah mengambil sabun dan sampo untuk keperluan keluarga pun ayah harus membayarnya. Tapi karena aku belum berpenghasilan maka ayah pun yang membayar jajanan yang ku makan. Dalam hati ku bertanya,” ngambil diwarung sendiri aj pake bayar?”. Memang aneh, tapi lama-kelaman aku pun mngerti maksud dari aturan itu. Pada saat kita menjalankan bisnis, kita harus tahu managemennya pengelolaannya. Jika kita mengambil barang di toko seenaknya, kita tidak tahu pemasukan yang didapatkan selama sebulan.
Dari toko kecil ibuku sebulan sangup meraih omset sampai 3 juta rupiah. “ wah tenyata jika suatu usaha kita tekuni dengan baik maka akan mendapatkan hasil yang besar”, kataku dalam hati. Semenjak itu pola pikirku dipenuhi dengan bisnis. Waktu aku menginjak SMA ayahku mengajak aku dan kakaku ke kebun sawit keluarga yang luasnya sekitar 4,25 Ha. Walaupun tidak terlalu besar omset yang didapat juga sangat besar. Sawit dipanen setiap 2 minggu sekali, sekali panen sebuah kebun sawit dapat menghasilkan 7-8 ton dan dijual perkilonya sekitar 900 rupiah. Setelah dipotong upah buruh dan pupuk didapat sekitar 4 juta rupiah dan dalam sebulan didapat 8 juta rupiah. “dibanding dengan gaji pegawai negeri, kebuh ayah ini hasilnya lebih banyak”, kata ayah. Karena gaji ayah sebagai pegawai negeri sekitar Rp1,5 juta perbulan. Semenjak itu aku bermimpi menjadi seorang agribisnis. Aku bermimpi mengelola hasil bumi dengan ilmu-ilmu yang kudapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar